KAIN PUTIH DI KAMPUS ITB
Tak dapat dielakkan . Sebutir kenangan melintas waktu saya masuk ke Dewan Agung Institut Teknologi Bandung (ITB) satu petang. Saya mengingatkan akitek bangunan antik tersebut , Ir. Maclaine Pont. Waktu orang Belanda ramai-ramai pulang ia tetap cintakan Indonesia. Tinggallah di Negarai Belanda itu, mengakibatkan dia tidak mendapat jaminan jasmani (material) seperti yang lain yang tergesa pulang. Saya jadi bertanya, Apakah Maclaine Pont tergolong salah satu lambang ITB atau sistem Pengajian Tinggi Indonesia yang mengikut ramalan sesetengah orang akan menjadi seperti dirinya sendiri: Miskin setelah pulang, tinggalnya di sudut jalan kelabu berangin barat di Den Haag.
*
Dewan Agung ITB, yang direkabentuk Pont masih tersergam indah. Ia bagaikan warisan keramat antik, tetapi mahasiswa yang memenuhi ruang dewan petang itu untuk suatu acara dialog sudah seperti anak-anak dunia lain. . Bukan lagi seperti yanh pernah dijolokkan selama bertahun-tahun sebagai tuan dan nona mahasiswa yang rapi, sebagai anak-anak ningrat yang penuh kepastian ilmiah, anggun melangkah hormat dan dipersilakan memenuhi kerusi status mereka. Petang itu, mahasiswa yang membanjiri dewan adalah adalah mereka yang memakai blue-jean yang berjejelan duduk (dan berdiri) seperti orang di kaki lima yang sedang mengerumuni penual ubat. Mereka ini pengkaki lima, gelisah dan haus mencari warong dan kereta sorong, mencari jawapan bagi segudang pertanyaan hidup yang kacau, membanjiri , membingungkan , simpang siur tanpa logik. Dan kadang-kadang ia tidak masuk akal. Terasa semacam tangisan tanpa air mata , teriak tanpa suara, ketawa tanpa kelucuan. Mana dulu yang pernah keluar menjuarai hati rakyat. Orang seperti Soekarno. Tidak juga otak pintar yang setiap waktu berkawankan komputer. Tidak juga para seniman bagai Khairil Anwar yang ingin hidup seribu tahun lagi.
*
Memang sulit untuk dipertanggungjawabkan, kalau di petang itu saya melihat beberapa poster yang tidak lagi segagah dan semuluk dulu. Poster yang memberi salam selamat datang kepada para mahasiswa baru. Bayangkan suatu waktu dulu, tradisilah pasti Pemasangan poster berupa lambaian penuh bangga jaya: “Selamat Datang puteri-Puteri Indonesia Yang terbaik.” Kini , tidak ubahnya seperti pada permulaan tahun 1977, hanya kain putih bertuliskan “Selamat Datang Mahasiswa Baru.” Terlalu mengharukan, sedih dan bungkam seribu kata. Malah terasa bagai menyambut bayi-bayi baru memasukidunia perut sang ibu.
*
Diakui bahawa predikat “yang terbaik” dan “putra-putri” dipersoalkan dirinya. Bukan oleh sang profesor di ITB, tidak seorang petani di kampung atau orang politik.Tetapi oleh sang mahasiswa itu sendiri. Kaadang-kadang terasa aneh dan luar biasa kerana baru pertama kali itu para “putera-puteri” ini mempersoalkan kebanggaannya. Pada hal semenjak mula lagipembangunan mental bangsa Indonesia , para mahasiswalah dan para pelajarnyalah yang paling menyedari keroyalan intelektualnya sebagai kaum atas untukmenuntutdan membina bangsa ke arah cita-cita kemerdekaan dan kemajuan.Merekalah kaum nombor wahid, penyelamat bangsa dan hari depan negara. Kaum paling idealdan pengabdi yang diharapkan rakyat . Masyarakat, dalam hatinya berdoa agar anak mereka dikurniakan otak untuk kemudian dapat menerima gelaran predikat “putra-puteri Indonesia yang terbaik.”Mereka berhak demikian.
Siapa tidak akan melangkah lebihtegak, memandang lebih jauh dan dalam suasana gemilang kerana diberikan pengakuan ningrat intelektual pilihan yang berhal menjelajahi setiap inci ruang kampus ITB, menara gading menuju hidup unggul?Siapa tidak berdebar bangga mendengarkan sanjungan pembesar” The students of today, the leaders of Tomorrow.” Tapi, petang itu seolah-olah satu sejarah tradisi mulai berlabuh. Kain putih tanpa kata, atau bertuliskan beberapa kata biaasa aadalah kain pengakuan realisme tanpa warna-warni metaforisme. Dalam hati, sang pembaca poster bertanya:”Siapa kau mahasiswa?Untuk apa/ Demi apa? Demi siapa?
Kau lihat bunga-bunga bougainvile dan flamboyan sudah berguguran dan kaca jendela di Dewan Pont sudah pecah-pecah. Mengapa kau masih mahu ke mari?
Namun, dalam situasi sekarang masih ramai yang hormat dan kagum pada mahasiswa ITB ini, kelompok yang masih mempunyai keberanian moral dan kejujuran di tengah iklim yang kontra dengan sikap demikian. Mahasiswa ini masih mampu mengintrospeksi diri , mempertanyakan apa adanya dalam perasaan mereka menyendiri tetapi tidak menghindarkan diri daripada tanggungjawab peribadi, selaku manusia cerdas yang telah terlatih berfikir berdasarkan data matematika dan sains. Dan tanpa sengaja, dengan kain putih poster tadi, ternyata mereka justeru membuktikan, memang masih ada sisa-sisa jolokan “putera-puteri Indonesia yang terbaik”, itu.
Pokoknya asal saja mereka sanggup menanggung risiko. Asal saja mereka sanggup berjuang dalam sudut perjuangan yang lain, yang sama hebatnya dengan sydyt perjuangan terdahulu. Mereka tidak perlu tinggal diam. Kerana itu bererti amat tidak berguna kain putih poster. Dan tidak akan mustahilkain putih itu lantas menjadi kain kafan suatu sistem pengajian tinggi yang selama ini mereka banggakan.
Sebab, sudah sekian kali terdengar dalam majlis dialog malam itu ungkapan yang meragukan produk dan prestasi mahasiswa ini: Sekarang mahasiswa idealis – jangan-jangan kalau sudah lulus menjadi penyeleweng, koruptor, jadi penghisap darah rakyat kecil… orang-orang cerdik pandai yang justeru berkat modal kecerdikan dan kepandaiannya yang ulung itu pendukung paling kuat dengan otak-otak komputernya yang paling cekap cuba pula membuat dalih dan camouflage untuk memanipulasi rakyat sederhana.
*
Lupakanlah apa yang terjadi di tahun-tahun yang berintikan kekerasan dan demonstrasi waktu lalu. . Demikian kalau aada orang menasihatkan para mahasiswa ini. Paling, lupakanlah apa yang sedang berlaku waktu ini di tengah-tengah kesibukan lalu lintas di Jalan Riau. Kerana bukan tidak mudah orang meneka apa yang berlaku di sana. Sidang pengadilan negeri Bandung masih lagi menggusur otak-otak sekelompok mahasiswa yang pada anggapan pemerintah sebagai pengacau kampus, bukan “putera-puteri terbaik Indonesia.”
Sang pembaca poster kain putih petang itu tidak akan lupa mengingatkan mahasiswa: “Itu konsepsi Menteri Daud Yusuf tentang mahasiswa penalaran (students of reasoning). Menteri pendidikan itu punya akal tajam. Mahasiswa, khususnya di ITB, masih punya jolokan “putera-puteri Indonesia terbaik” asal mereka punya daya nalar tajam, punya kekuatan reasoning, Waktunya sudah tamat: Keberkocakan kampus sudah perlu diganti dengan sistem yang lebih idealis buat penghuni kampus biru. Perjuangan perlu berlandaskan rel dinamika baru. Lupakan politik praktis. Tumpukan kepada politik akademis. Demikian pemikiran Daud Yusuf dan perlu diterapkan. Dan demikian pula yang diinginkan. Mahasiswa itulah kain putih yang perlu diwarnakan.
*
Bagi pihak Daud Yusuf ini tertpancar idea lkain putih yang akan bisa menjadi simbol baru, semacam renaissance atau kebangkitan dalam bentuk baru, demi situasi baru daripada inti kebangkitan nasionalisme Indonesia tahun 1908 dan 1928. Waktu itu adalah titik tolak sejarah bangsa Indonesia mempejuangkan hak hidupnya di bumi Indonesia.Satu inti kebangkitan generasi muda yang bertanggungjawab, yang bertanya diri: Mahasiswa akan berbuat apa sahaja untuk majoriti rakyat yang kecil, yang masih hauskan hidup, dan yang masih belum keluar dari sangkar kemiskinannya? Kau berputar dalam sistem apa sekarang mahasiswa? Menteri akan bertanya kepada para rektor universiti. Bagaimana kalau diperbanyak jumlah mahasiswa dalamtahun-tahun akan datang?
Tetapi tidak siapa yang tahu, mungkin saja mahasiswa ini mempunyai pertanyaan lain yang lebih baik dan berharga. Yang bermanfaat ditanyakan kepada diri sendiri dan kepada siapa yang cintakan rakyat kecil dan lemah. Kerana setiap pertanyaan adalah buah kandungan satu dunia khusus. Jawapannya sebetulnya tidak penting. Tapi apa dan bagaimana serta mengapa itu yang ditanyakan. Cerdik pandai pernah bilang, dari pertanyaan oranga dapat mengenal peribadi sang penanya…dan dalam setiap pertanyaan sudah terkandung jawapannya.
*
Dewan Pont di ITB mulai sepi sebaik malam menuju dinihari. Para mahasiswa berblue-jeans, berT-shirt yang sejak tadi menjadi pengkaki lima di ruang yang dulunya pernah menampung mahasiswa yang berpakaian rapi, sudah beransur meninggalkan ruang. Yang tinggal hanya kerusi kosong dan kaca-kaca pecah yang menjadi hiasan abstrak Dewan. Di luar mereka memijak bunga-bunga bougainvile dan flamboyan yang layu di tanah – sesudah sesiang harinya berguguran. Dan di pintu gerbang poster kain putih seolah0olah menunggu untuk diwarnai. Jalan Ganesa yang menghubungkan Kampus ITB dengan dunia luar akhirnya sepi dari pejalan kaki dan pengemudi.("A.F. Yassin Dari Bandung", Majalah Dewan Masyarakat, 15 November 1977.)
No comments:
Post a Comment