09 August 2011

Kain Putih Di Kampus ITB


KAIN PUTIH DI KAMPUS ITB

Tak dapat dielakkan . Sebutir kenangan melintas waktu saya masuk ke Dewan Agung Institut Teknologi Bandung (ITB) satu petang. Saya mengingatkan akitek bangunan antik tersebut , Ir. Maclaine Pont. Waktu orang Belanda ramai-ramai pulang ia tetap cintakan Indonesia. Tinggallah di Negarai Belanda itu, mengakibatkan  dia tidak mendapat jaminan jasmani (material) seperti yang lain yang tergesa pulang. Saya jadi bertanya, Apakah Maclaine Pont  tergolong salah satu lambang ITB atau sistem Pengajian Tinggi Indonesia yang mengikut ramalan sesetengah  orang akan menjadi seperti dirinya sendiri: Miskin setelah pulang, tinggalnya di sudut jalan kelabu berangin barat di Den Haag.
*
Dewan Agung ITB, yang direkabentuk  Pont masih tersergam indah. Ia bagaikan warisan keramat antik, tetapi mahasiswa yang memenuhi ruang dewan  petang itu untuk suatu acara dialog sudah seperti anak-anak dunia lain. . Bukan lagi seperti yanh pernah dijolokkan selama bertahun-tahun sebagai tuan dan nona mahasiswa yang rapi, sebagai anak-anak ningrat  yang penuh kepastian ilmiah, anggun melangkah hormat dan dipersilakan  memenuhi kerusi status mereka. Petang itu, mahasiswa yang membanjiri dewan adalah adalah mereka yang memakai  blue-jean yang berjejelan duduk (dan berdiri) seperti orang di kaki lima  yang sedang mengerumuni penual ubat. Mereka ini pengkaki lima, gelisah dan haus mencari warong dan kereta sorong, mencari jawapan bagi segudang pertanyaan hidup yang kacau, membanjiri , membingungkan , simpang siur tanpa logik. Dan kadang-kadang ia tidak masuk akal. Terasa semacam tangisan tanpa air mata , teriak tanpa suara, ketawa tanpa kelucuan. Mana dulu yang pernah keluar menjuarai hati rakyat. Orang seperti Soekarno. Tidak juga otak pintar yang setiap waktu berkawankan komputer. Tidak juga para seniman bagai Khairil Anwar yang ingin hidup seribu tahun lagi.
*
Memang sulit untuk dipertanggungjawabkan, kalau di petang itu saya melihat beberapa poster yang tidak lagi segagah dan semuluk dulu. Poster yang memberi salam selamat datang kepada para mahasiswa baru. Bayangkan suatu waktu dulu, tradisilah pasti Pemasangan poster  berupa lambaian  penuh bangga jaya: “Selamat Datang puteri-Puteri  Indonesia Yang terbaik.” Kini , tidak ubahnya seperti pada permulaan tahun 1977, hanya kain putih  bertuliskan “Selamat Datang Mahasiswa Baru.” Terlalu mengharukan, sedih dan bungkam seribu kata. Malah terasa bagai menyambut bayi-bayi baru memasukidunia perut sang ibu.
*
Diakui bahawa predikat “yang terbaik” dan “putra-putri” dipersoalkan dirinya. Bukan oleh sang profesor di ITB, tidak seorang petani di kampung atau orang politik.Tetapi oleh sang mahasiswa itu sendiri. Kaadang-kadang terasa aneh  dan luar biasa kerana baru pertama kali itu  para “putera-puteri” ini mempersoalkan kebanggaannya. Pada hal semenjak mula lagipembangunan mental bangsa Indonesia , para mahasiswalah dan para pelajarnyalah yang paling menyedari keroyalan  intelektualnya sebagai kaum atas untukmenuntutdan membina bangsa  ke arah cita-cita kemerdekaan dan kemajuan.Merekalah kaum nombor wahid, penyelamat bangsa dan hari depan negara. Kaum paling idealdan pengabdi yang diharapkan rakyat . Masyarakat, dalam hatinya berdoa agar anak mereka dikurniakan otak untuk kemudian dapat menerima gelaran predikat “putra-puteri Indonesia yang terbaik.”Mereka berhak demikian.

Siapa tidak akan melangkah lebihtegak, memandang lebih jauh dan dalam suasana gemilang kerana diberikan pengakuan ningrat intelektual pilihan yang berhal menjelajahi  setiap inci ruang kampus ITB, menara gading  menuju hidup unggul?Siapa tidak berdebar  bangga mendengarkan  sanjungan pembesar” The students of today, the leaders of Tomorrow.” Tapi, petang itu seolah-olah satu sejarah tradisi  mulai berlabuh. Kain putih tanpa kata, atau bertuliskan beberapa kata biaasa aadalah kain pengakuan realisme tanpa warna-warni metaforisme. Dalam hati, sang pembaca poster bertanya:”Siapa kau mahasiswa?Untuk apa/ Demi apa? Demi siapa? 

Kau lihat bunga-bunga bougainvile dan flamboyan sudah berguguran  dan kaca jendela di Dewan Pont sudah pecah-pecah. Mengapa kau masih mahu ke mari?
Namun, dalam situasi sekarang masih ramai yang hormat dan kagum pada mahasiswa ITB ini, kelompok yang masih mempunyai keberanian moral dan kejujuran di tengah iklim yang kontra dengan sikap demikian. Mahasiswa ini masih mampu mengintrospeksi diri , mempertanyakan apa adanya dalam perasaan mereka menyendiri tetapi tidak menghindarkan diri daripada tanggungjawab peribadi, selaku manusia cerdas  yang telah terlatih berfikir  berdasarkan data matematika dan sains. Dan tanpa sengaja, dengan kain putih poster tadi, ternyata mereka justeru membuktikan, memang masih ada sisa-sisa jolokan “putera-puteri Indonesia yang terbaik”, itu.

Pokoknya asal saja mereka sanggup menanggung risiko. Asal saja mereka sanggup berjuang dalam sudut perjuangan yang lain, yang sama hebatnya dengan sydyt perjuangan terdahulu. Mereka tidak perlu tinggal diam. Kerana itu bererti amat tidak berguna kain putih poster. Dan tidak akan mustahilkain putih itu lantas menjadi kain kafan suatu sistem pengajian tinggi yang selama ini mereka banggakan.
Sebab, sudah sekian kali terdengar dalam majlis dialog malam itu ungkapan yang meragukan produk dan prestasi mahasiswa ini: Sekarang mahasiswa idealis – jangan-jangan kalau sudah lulus  menjadi penyeleweng, koruptor, jadi penghisap darah rakyat kecil… orang-orang cerdik pandai yang justeru  berkat modal kecerdikan dan kepandaiannya  yang ulung itu  pendukung paling kuat dengan otak-otak komputernya  yang paling cekap cuba pula membuat dalih dan camouflage untuk memanipulasi rakyat sederhana.
*
Lupakanlah apa yang terjadi di tahun-tahun yang berintikan kekerasan dan demonstrasi waktu lalu. . Demikian kalau aada orang menasihatkan para mahasiswa ini. Paling, lupakanlah apa yang sedang berlaku waktu ini di tengah-tengah kesibukan lalu lintas di Jalan Riau. Kerana bukan tidak mudah  orang meneka apa yang berlaku di sana. Sidang pengadilan negeri Bandung masih lagi menggusur  otak-otak  sekelompok mahasiswa  yang pada anggapan pemerintah  sebagai pengacau kampus, bukan  “putera-puteri terbaik Indonesia.”
Sang pembaca poster  kain putih petang itu tidak akan lupa mengingatkan  mahasiswa: “Itu konsepsi Menteri Daud Yusuf tentang mahasiswa penalaran (students of reasoning). Menteri pendidikan itu punya akal tajam. Mahasiswa, khususnya di ITB, masih punya jolokan “putera-puteri Indonesia terbaik” asal mereka punya daya nalar tajam, punya kekuatan reasoning, Waktunya sudah tamat: Keberkocakan kampus sudah perlu diganti  dengan sistem yang lebih  idealis  buat penghuni kampus  biru. Perjuangan perlu berlandaskan  rel dinamika baru. Lupakan politik praktis. Tumpukan kepada politik akademis. Demikian pemikiran  Daud Yusuf dan perlu diterapkan. Dan demikian pula  yang diinginkan. Mahasiswa itulah kain putih  yang perlu diwarnakan.
*
Bagi pihak Daud Yusuf ini tertpancar idea lkain putih yang akan bisa menjadi simbol baru, semacam renaissance atau kebangkitan dalam bentuk baru, demi situasi baru daripada inti kebangkitan  nasionalisme Indonesia tahun 1908 dan 1928. Waktu itu adalah titik tolak sejarah bangsa Indonesia mempejuangkan hak hidupnya  di bumi Indonesia.Satu inti kebangkitan generasi muda yang bertanggungjawab, yang bertanya diri: Mahasiswa akan berbuat apa sahaja  untuk majoriti rakyat yang kecil, yang masih hauskan  hidup, dan yang masih belum keluar  dari sangkar kemiskinannya? Kau berputar  dalam sistem apa sekarang mahasiswa? Menteri akan bertanya kepada para rektor universiti. Bagaimana kalau diperbanyak jumlah mahasiswa dalamtahun-tahun akan datang?

Tetapi tidak siapa yang tahu, mungkin saja mahasiswa ini mempunyai pertanyaan lain yang lebih baik dan berharga. Yang bermanfaat ditanyakan  kepada diri sendiri dan kepada siapa  yang cintakan rakyat kecil dan lemah. Kerana setiap pertanyaan adalah buah kandungan satu dunia khusus. Jawapannya sebetulnya tidak penting. Tapi apa dan bagaimana serta mengapa  itu yang ditanyakan. Cerdik pandai pernah bilang, dari pertanyaan oranga dapat mengenal peribadi sang penanya…dan dalam setiap pertanyaan sudah terkandung  jawapannya.
*
Dewan Pont di ITB mulai sepi sebaik malam menuju dinihari. Para mahasiswa berblue-jeans, berT-shirt yang sejak tadi menjadi pengkaki lima di ruang yang dulunya pernah menampung mahasiswa yang berpakaian rapi, sudah beransur  meninggalkan ruang. Yang tinggal hanya kerusi kosong dan kaca-kaca pecah yang menjadi hiasan abstrak Dewan. Di luar mereka memijak bunga-bunga bougainvile dan flamboyan yang layu di tanah – sesudah sesiang harinya  berguguran. Dan di pintu gerbang poster kain putih seolah0olah menunggu untuk diwarnai. Jalan Ganesa yang menghubungkan Kampus ITB dengan dunia luar akhirnya sepi dari pejalan kaki dan pengemudi.("A.F. Yassin Dari Bandung", Majalah Dewan Masyarakat, 15 November 1977.)   

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

What Other People Say...


"A.F.Yassin dalam cerpennya "Dendam" berjaya menghidupkan ceritanya dalam bahasa yang berjiwa; sesuai dengan pertentangan-pertentangan yang dialami oleh Salim atau oleh Yanti sendiri. "Plotnya bersifat sorot pergi sebagai satu gaya untuk mengembangkan kisah pada satu detik tetapi menghimbau kisah itu kepada kisah lampau dan juga kisah akan datang. Latarnya di Indonesia. Cerpen ini hidup kerana tidak dibiar berkisar di luar persoalan. Olahan cerpen bepusar keseluruhannya pada watak Yanti..." (Dato' Shahnon Ahmad, Mingguan Malaysia, 14 November 1976.)



" The former editor of a publishing house, A.F.Yassin, recently put out Sembang Sastera: Bersama Orang Persuratan (Fajar Bakti, 1998,310 pages), in which he talks to 64 Malay writers and literary activists of varying stature, who muse on their lives and what they have been up to. Chatty. Frank, nostalgic, irreverent, these conversations are light, in response to A.F.Yassin’s equally casual probing. His target is largely a small and shrinking group of people aged around 60 and above, loyal supporters of the Jawi-scripted Utusan Zaman, in which most of these Sembang-Sembang first appeared.



"Now that these Sembang-Sembang have been romanised, and packed in a handsome hardcover book, more readers , especially literary researchers, local and foreign, can be expected to benefit from them. Of course, the information ranges from the revealing to the trivial, but the book is pertinent as it provides insight on what went on in the world of Malay letters.



"…Sembang Satera is invaluable, especially to students of contemporary Malay literature, because it provides a cauldron of tidbits, with which to spice up the perennially long-overdue assignment.” - (Zakaria Ali, "Notes on Local Literature, fortnightly with Zakaria Ali, New Straits Times, 27 January, 1999."



"Yassin merupakan penulis yang berilmu dalam dua bidang dan seterusnya melibatkan diri dalam tiga dimensi. Bidang-bidang keilmuan dan keahliannya ialah komunikasi dan sastera, sementara kegiatannya dalam bidang penulisan kreatif dan deskriptif dan serentak dengan itu, turut kreatif dalam penghasilan dan penerbitan buku sesuai dengan profesion terkininya." (Asri Affandi, Mingguan Malaysia, 27 Disember 1987.)



"A.F.Yassin dalam bukunya Etika dan Wartawan berpendapat, pemberitaan akhbar di negara ini boleh dikatakan hanya berpandu kepada etika sejagat dan norma serta kebiasaan hidup masyarakat majmuk. Ketiadaan kod etika kewartawanan juga seperti yang ditekan oleh A. Samad Said telah menjadikan akhbar mengamalkan dasar swaying with the wind, bukan merupakan agent of change, serta cenderung menyuarakan dasar dan strategi pihak penerbit suratkabar itu sendiri." (Harakah, 31 Mei 1993.)

Tidak tahu kenapa dia meninggalkan lapangan guru dalam tahun 1962 kemudian sanggup pula menjadi seorang Juruteknik di sebuah kilang tekstil di Johor Bahru. Apakah dia memikirkan kurangnya anak Bumiputra berminat dalam lapangan teknikal atau kerana mula nampak bintangnya lebih mengerdip jika dia meninggalkan lapangan guru?

Yang ternyata sewaktu berada di Textile Corporation of Malaya Berhad Johor Bahru, dia telah dapat mengikuti latihan teknikal di Nagoya, Jepun selama enam bulan dalam tahun 1969. Di Jepun dia baru dapat melihat perbezaan zikap dan tingkah laku manusia pekerja Jepun dengan bangsanya sendiri. Setelah menimba pengalaman di Jepun, tercetus pula keinginannya untuk menulis rencana bersirinya di Utusan Malaysia, Utusan Zaman dan Mingguan Malaysia. Semuanya menceritakan pengalamannya di Jepun.

Kemampuan menulis telah meransangnya menapak ke bidang kerja yang lain. Dia menjadi Penyunting Berita Harian dalam tahun 1971. Semasa di New Straits Times Press (M) Bhd., dia banyak pula menghasilkan cerpen. Dia terus melanjutkan penulisan fiksyen apabila dilantik menjadi Penolong Editor dan kemudiannya meningkat sebagai Editor majalah Dewan Masyarakat.

Melihat kemampuannya menulis artikel dan cerpen di tengah-tengah kesibukannya sebagi seorang Editor, jelaslah kepada kita bahawa seorang editor yang sibuk tidak semestinya tidak boleh menulis. Pokoknya dia tidak mengenal erti kelelahan dan kesibukan bila dia diransang untuk menulis. ("Karyawan Bulan Ini", Dewan Sastera, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Mac 1983).